Archive for Mei 2013
Contoh Kasus Hukum dan Analisanya
By : Unknown
1)
Pria Dibacok Lima Orang yang Mengaku dari Ormas
JAKARTA,
KOMPAS.com - Irfan Kurniawan (30) mengalami
luka bacokan yang cukup parah setelah dikeroyok lima orang yang mengaku berasal
dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Warga Pondok Labu, Cilandak, Jakarta
Selatan, itu pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
"Kejadiannya
di perempatan DDN, Pondok Labu, tengah hari," kata Komisaris Nuredy
Irwansyah, Kapolsek Metro Cilandak saat ditemui di Mapolres Metro Jakarta
Selatan, Jumat (14/12/2012).
Peristiwa
tersebut berawal saat Irfan sedang mengatur lalu lintas yang macet di
perempatan DDN. Tiba-tiba muncul rombongan pelaku yang mengendarai sepeda motor
dan menyerobot jalur.
Melihat
tingkah tersebut, Irfan langsung menegur salah seorang pelaku. Namun, teguran
itu justru tidak diterima oleh pelaku yang langsung menghentikan kendaraannya.
"Tegurannya
dijawab dengan keras juga. Kata dia, kamu nggak tahu apa saya ini anggota
ormas," kata Nuredy menirukan ucapan pelaku.
Dibantu
rekan-rekannya, pelaku lantas membacok korban dengan menggunakan senjata tajam
jenis golok. Korban yang terluka parah di bagian tangan, kepala bagian
belakang, dan punggung, kemudian dilarikan warga ke RS Marinir Cilandak untuk mendapat
bantuan medis.
Sementara
itu, petugas kepolisian langsung melakukan pengejaran setelah mendapatkan
keterangan dari beberapa saksi dari lokasi kejadian.
Analisa
Hukum pidana adalah ketentuan-ketentuan
yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam dalam meniadakan
pelanggaran kepentingan umum.
Syarat
suatu perbuatan atau peristiwa dikatan sebagai peristiwa pidana adalah:
a.
Ada
perbuatan atau kegiatan.
b.
Perbuatan
harus sesuai dengan apa yang dilukiskan/dirumuskan dalam ketentuan hukum.
c.
Harus
terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d.
Harus
berlawanan/bertentangan dengan hukum.
e.
Harus
tersedia ancaman hukumnya.
Kasus diatas termasuk suatu peristiwa
pidana karena kasus tersebut memenuhi syarat-syarat peristiwa pidana, dimana terjadi
penganiayaan, pengeroyokan dan pembacokan terhadap Irfan oleh lima orang yang
mengaku sebagai ormas tersebut. Ini dibuktikan dengan adanya laporan dari
beberapa saksi di TKP yang langsung melaporkan kepada aparat kepolisian
stempat. Disini jelas bahwa perbuatan kelima orang tersebut melanggar hukum,
yakni pasal 351,354, dan 358 KUHP tentang Penganiayaan.
Kasus ini khususnya diatur
dalam pasal 351 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
dan “Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun”.
Kemudian diatur juga dalam
pasal 354 ayat 1 yang berbunyi: “Barang
siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan
berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Dan untuk pengeroyokannya
diatur dalam pasal 358 (1) yang
berbunyi: “Mereka yang sengaja turut
serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang,
selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya,
diancam: dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat”.
Jadi untuk pelaku pembacokannya akan dikenai hukuman
sesuai dengan pasal 351 ayat 1 dan 2, dan 354 ayat 1 KUHP, sedangakan
teman-teman yang membantu orang yang membacok
tersebut dikenai hukuman sesuai dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 358 KUHP.
2)
LaGrand
Case (Germany vs USA)
Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl
LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di
Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata
yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya.
Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand
bersaudara dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand
bersaudara tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan
konsuler berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan
pemerintah Amerika Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah
Jerman di wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2
orang warga Negara Jerman.
LaGrand bersaudara pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar
mendapatkan keringanan putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak
menggubris permohonan ini.
Karl LaGrand dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari
1999. Sedangkan Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada
3 Maret 1999.
Beberapa jam sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman
mengajukan permohonan ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk
menunda eksekusi Walter LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ
tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi
Walter LaGrand.
Analisa
Kasus
LaGrand merupakan suatu kasus yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional
dengan berpedoman pada Konvensi Wina 1963. Dalam kasus ini dapat ditemukan
adanya pelanggaran dalam salah satu pasal dari Konvensi Wina oleh Amerika
Serikat, yaitu Amerika Serikat tidak memberitahukan terlebih dahulu baik kepada
warga Negara asing yang diadili maupun kepada kantor konsuler Negara yang
bersangkutan bahwa ada warga negaranya yang terjerat dalam proses hukum.
Padahal dalam Konvensi Wina tentang hubungan konsuler tahun 1963 memberikan hak
kepada individu berdasarkan makna yang jelas, dan bahwa hukum yang berlaku di
suatu negara tidak bisa tidak bisa membatasi hak-hak terdakwa di bawah konvensi,
tetapi hanya menentukan dimana hak-hak tersebut dilaksanakan dan berlaku.
Apabila ada warga negara asing dari Sending State yang terjerat proses hukum,
maka Receiving State juga harus memberitahukan kepada warga negara asing yang
bersangkutan mengenai haknya untuk didampingi oleh perwakilan konsuler dari
negaranya. Inilah alasan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Konvensi Wina
tahun 1963 yang telah disepakati bersama itu.
3) Kasus
Perdata
SLEMAN–
Selasa, 17 November 2011 Pengadilan Negeri (PN) Sleman akhirnya mengeksekusi
tanah milik Juminten di Dusun Pesanggrahan, Desa Pakembinangun,Kecamatan Pakem,
Sleman.
Sempat
terjadi ketegangan saat proses eksekusi yang melibatkan puluhan aparat
kepolisian ini, tapi tidak terjadi tindakan anarkistis. Saat proses eksekusi
tanah tersebut,PN Sleman membawa sebuah truk untuk mengangkut barang-barang
pemilik rumah serta backhoeuntuk menghancurkan rumah yang tampak baru berdiri
di atas tanah seluas 647 meter persegi. ”Kami hanya melaksanakan perintah atasan,”
kata Juru Sita PN Sleman Sumartoyo kemarin.
Lokasi
tanah yang berada di pinggir Jalan Kaliurang Km 17 ini merupakan tanah sengketa
antara Juminten dengan Susilowati Rudi Sukarno sebagai pemohon eksekusi. Kasus
hukum yang telah berjalanselamatujuh tahun ini berawal dari masalah utang
piutang yang dilakukan oleh kedua belah pihak, utang yang dimaksud disini
adalah juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau
mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh susilowati .
Klien
kami telah membeli tanah ini dan juga sebidang tanah milik Ibu Juminten lainnya
di daerah Jalan Kaliurang Km 15 seharga Rp335 juta.Total tanah ada 997 meter
persegi.Masalahnya berawal saat termohon tidak mau diajak ke notaris untuk
menandatangani akta jual beli, padahal klien kami sudah membayar lunas,”
papar Titiek Danumiharjo, kuasa hukum Susilowati Rudi Sukarno. Kasus ini
sebenarnya telah sampai tingkat kasasi, bahkan peninjauan ulang. Dari semua
tahap,Susilowati Rudi Sukarno selalu memenangkan perkara.
Pihak
Juminten yang tidak terima karena merasa tidak pernah menjual tanah milik
mereka, berencana menuntut balik dengan tuduhan penipuan dan pemalsuan dokumen.
”Kami merasa tertipu, surat bukti jual beli palsu,”tandas L Suparyono, anak
kelima Juminten.
Analisa
Hukum
perdata adalah ketentuan hukum materil yang mengatur hubungan antara
orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum perdata berisi tentang hukum
orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta kekayaan yang meliputi hukum
benda dan hukum perikatan.
Kasus
diatas termasuk kasus perdata khususnya perikatan karena telah terjadi
persetujuan antara Juminten dengan Susilowati dalam hal jual-beli tanah. Dalam
hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hukum perikatan adalah
jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang melahirkan hak dan
kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum kekayaan.
Tetapi
dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa tanah antara Juminten dan
Susilowati. Sengketa ini berawal dari utang piutang yang mana Juminten
berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti rugi
uang yang sudah diberi oleh Susilowati. Dalam kasus ini, Juminten dianggap
merugikan Susilowati, karena sudah dianggap menipu berupa tidak maunya Juminten
membuat akta sertifikat tanah dan dari itu pula Juminten tidak mau menggabti
dengan uang, karena Juminten beranggapan tidak pernah menjual tanh miliknya
kepada Susilowati, padalah penyimpanan atau pendaftaran tanah itu wajib demi
terlaksanakannya kepastian hukum. Sehingga Juminten dianggap ingkar janji
(wanprestasi) atau tidaak memenuhi perikatan tersebut.
Dalam KUH Perdata pasal 1366
berbunyi “Setiap orang bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Disini
jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Djamali, Abdoel., SH. 2010. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Elkafilah. 2012. Kasus Perdata. (On-Line), (http://elkafilah.wordpress.com/2012/05/23/kasus
-perdata/), diakses 19 Desember
2012.
KANSIL, C.S.T,. Drs, SH. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
More, Imanuel. 2012. Pria Dibacok Lima Orang yang Mengaku dari
Ormas. (On-line), (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/14/19124863/Pria.Dibacok.Lima.Orang.yang.Mengaku.dari.Ormas), diakses 16 Desember 2012.
Qadarwati, Liely Noor. Contoh Kasus Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional. (On-line),(http://lielylaw.multiply.com/journal/item/55/CONTOH-KASUS-HUKUM-PEN
YELESAIAN-SENGKETAINTERNASIONAL?&show_interstitial=1&u=%2Fjourn
al%2Fitem), diakses 16 Desember 2012.
Copyright ©2012 Wisnu Wardana Putra
Kasus Pro Bestuurdwang
By : Unknown
Brimob Terlibat
Penggusuran, Warga Waduk Pluit Kecewa
Kamis, 2 Mei 2013 |
22:40 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Warga Waduk Pluit, Jakarta Utara, kecewa terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melakukan penggusuran dengan melibatkan aparat Brigade Mobil. Pelibatan aparat kepolisian itu dianggap melampaui kapasitasnya sebagai aparat yang siap di medan pertempuran.
"Padahal, kalau cara yang ditempuh persuasif dan tidak arogan, maka tidak akan menimbulkan masalah seperti sekarang ini," ujar Koordinator Gerakan Pembela Rakyat (Gapera) AM Arbi saat menggelar aksi demonstrasi di Balaikota, Jakarta, Kamis (2/5/2013).
Arbi juga mempertanyakan langkah penggusuran tersebut, yang dinilainya tidak sesuai dengan janji Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu menginginkan agar relokasi warga tidak dilakukan dengan cara kekerasan.
"Apa yang kami rasakan sekarang bertolak belakang dengan janji Jokowi-Ahok pada saat kampanye pemilukada lalu," kata Arbi.
Atas dasar itu, Arbi yang mewakili warga Waduk Pluit mendesak DPRD DKI Jakarta agar segera memanggil Jokowi dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk meminta keterangan atas tindakan paksa penggusuran warga Pluit. Mereka juga meminta Kepala Polri agar segera mengusut keterlibatan aparat Brimob dalam penggusuran tersebut.
Penertiban terhadap lahan di Waduk Pluit dilakukan untuk membersihkan area tersebut dari bangunan-bangunan liar yang mengganggu fungsi waduk sebagai resapan air. Pemprov DKI sudah menyediakan rumah susun bagi warga Waduk Pluit yang ingin pindah dari lokasi itu.
Sumber :
Editor :
Laksono Hari W
Analisis
terhadap Kasus Pergusuran Rumah di Area Waduk Pluit Jakarta.
Waduk adalah
wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bangunan sungai dalam hal
ini bendungan, dan berbentuk pelebaran alur/badan/palung sungai[1]
yang bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum. Fungsi waduk dalam hal
ini adalah untuk mengendalikan dan menanggulangi banjir. Selain itu, waduk juga
dapat difunngsikan sebagai pembangkit listrik tenaga air dan juga sebagai
tempat wisata.
Waduk Pluit
merupakan waduk milik Pemprov Jakarta yang berfungsi sebagai resapan air,
pengontrol risiko banjir dan ketersediaan sumber air cadangan. Waduk Pluit
merupakan salah satu waduk terbesar di Jakarta. Luas area waduk ini awalnya 80
hektar, tetapi wilayahnya menyusut hinggga tersisa 60 hektar akibat banyaknya warga yang
mendirikan bangunan secara ilegal di lokasi tersebut (Kompas.com 27 April
2013). Padahal area pinggiran waduk bukanlah tempat untuk pemukiman warga.
Seharusnya area pinggiran waduk itu steril dari bangunan seperti rumah tinggal
supaya waduk itu dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan tujuan
dibangunnya.
Membangun rumah
di pinggiran waduk bukanlah tanpa alasan. Mereka yang mendirikan bangunan di
area pinggiran waduk tersebut sebenarnya adalah pengungsi akibat korban banjir.
Karena Pemprov DKI Jakarta saat itu belum mempunyai tempat pengungsian untuk
korban banjir, maka ditempatkanlah mereka di daerah pinggiran Waduk Pluit.
Tetapi, hal tersebut jelaslah sangat menggangu fungsi waduk sendiri dan bahkan
bisa menambah kemungkinan terjadinya banjir karena semakin sempitnya area waduk.
Area waduk yang seluas 20 hektar tersebut seharusnya bisa menjadi tambahan
kawasan penampung air tetapi justru dipakai untuk pemukiman. Saat curah hujan
tinggi, air di Waduk Pluit akan meluap dan membanjiri pemukiman di sekitar.
Terkait dengan
kasus tersebut, saya rasa penggusuran pemukiman di area waduk yang dilakukan
oleh pemerintah sangatlah tepat. Dalam hal ini pemerintah melakukan tindakan
yang pro bestuurdwang. Bestuurdwang sendiri artinya adalah
paksaan pemerintah, yang dijatuhhkan karena adanya pelanggaran terhadap
ketentuan Hukum Administrasi Negara, bertujuan mengakhiri suatu pelanggaran dan
mengembalikan pada keadaan semula. Kemudian dijatuhkan oleh pejabat yang
berwenang melalui petugas. Sehingga, tindakan pemerintah yang pro bestuurdwang itu adalah tindakan
pemerintah yang menjalankan bestuurdwang
itu sendiri. Sebenarnya tindakan pemerintah ini bisa pro maupun kontra dalam
menjalankan bestuurdwang. Hal ini
merupakan kewenangan pemerintah, dan penerapannya tergantung dari kebijakan
pemerintah.
Pelanggaran
terhadap ketentuan Hukum Administrasi Negara, disebutkan dalam pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung: “Setiap bangunan harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung”. Syarat-syarat
administratif itu, dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
meliputi: a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak
atas tanah; b. status kepemilikan bangunan gedung; dan c. izin mendirikan
bangunan gedung. Syarat administrasi yang tidak terpenuhi dalam kasus ini
antara lain: Tanah di pinggiran waduk tersebut adalah tanah milik pemerintah
yang digunakan sementara untuk menampung korban banjir. Jadi tanah yang
ditempati warga di pinggiran Waduk Pluit adalah tanah milik pemerintah dan
dibolehkannya tinggal disitu hanya bersifat sementara (statusnya sementara)
karena hanya untuk menampung korban banjir; Keberadaan pemukiman di pinggiran
waduk juga melanggar tata ruang yang ada, sehingga harus direlokasi (Detik.com
5 Februari 2013).
Bertujuan
mengakhiri suatu pelanggaran dan mengembalikan pada keadaan semula. Pemprov DKI
melakukan tindakan pro bestuurdwang
tujuannya adalah untuk mengakhiri suatu pelanggaran. Pelanggaran seperti apa?
Yakni pelanggaran terhadap ketentuan Hukum Administrasi Negara yang telah
disebutkan di atas. Lalu, kenapa harus diakhiri? Alasannya antara lain:
Menghindari bahaya Presedent atau sikap meniru, artinya jangan sampai orang
lain meniru sikap yang salah tersebut; dan Untuk mengembalikan fungsi waduk
pada keadaan semula, yakni sebagai resapan air, pengontrol risiko banjir dan
ketersediaan sumber air cadangan. Jika hal ini dibiarkan dan tidak diakhiri,
maka akan timbul bahaya lain. Semakin banyak warga yang membangun rumah disitu,
maka akan semakin menambah resiko banjir. Dengan kata lain, tujuan mengakhiri
suatu pelanggaran ini adalah untuk mengembalikan pada keadaan semula (untuk kepentingan
umum).
Dijatuhkan
melalui pejabat yang berwenang dan melalui petugas. Pejabat menurut kasus ini
adalah Gubernur DKI Jakarta, dimana beliau memilih tindakan pro bestuurdwang dalam kasus ini.
Kemudian melalui petugas, artinya adalah pengeksekusian/penggusuran tersebut
dilakukan oleh petugas tersendiri, tidak dilakukan secara langsung oleh
Gubernur. Petugas yang dimaksud adalah polisi pemerintahan. Polisi pemerintahan
bukanlah POLRI, tetapi Satpol PP. Sama sekali tidak perlu bahwa polisi
dilibatkan dalam pelaksanaan bestuurdwang.
Hal itu terjadi hanya jika diperkirakan adanya perlawanan fisik atau terdapat
alasan lain yang memerlukan bantuan polisi (berupa pengawalan, pengawasan).[2]
Adanya Brimob dalam penggusuran tersebut saya rasa tidak masalah asalkan hanya
sebatas melakukan pengawalan dan pengawasan saja. Namun demikian para
pegawai/petugas tersebut juga tidak perlu melakukan sendiri tugasnya dalam
rangka bestuurdwang itu. Pemerintah
dapat menunjuk pihak swasta untuk melakukannya, seperti dengan menggunakan alat
berat.
Penggusuran
rumah di area pinggiran waduk ini tidak dilakukan secara semena-mena dan tanpa
solusi. Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah melakukan negosiasi, sosialisasi,
dan himbauan kepada warga Pluit terlebih dahulu terkait relokasi dan
penggusuran tersebut beberapa bulan sebelum penggusuran dilakukan. Pemprov DKI
telah membangun rumah susun di Marunda dan Muara Baru, Jakarta Utara sebagai
tempat baru bagi warga Waduk Pluit yang direlokasi (Kompas.com 27 April 203).
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Hadjon, Philipus M. dkk. Pengantar Hukum Administrasi Negara:
Introductionto the Indonesian Administrative Law, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, cetakan ke 10, halaman 251.
Perundang-undangan:
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai.
Internet:
Kompas.com
tanggal 2 Mei 2013, “Brimob Terlibat Penggusuran, Warga Waduk Pluit Kecewa” diakses
tanggal 4 Mei 2013.
Kompas.com
tanggal 27 April 2013, “Jokowi: Warga Waduk Pluit Harus Pindah” diakses tanggal
4 Mei 2013.
Kompas.com
tanggal 20 April 2013, “Normalisasi Lahan Waduk Pluit Lebih Cepat dari Target”
diakses 4 Mei 2013.
Analisis Sumber Hukum Materiil HAN
By : Unknown
Analisis
kasus yang berkaitan dengan Sumber Hukum Materiil Hukum Administrsi Negara.
Sumber hukum Hukum
Administrasi Negara adalah asal darimana Hukum Administrasi Negara itu ada
ataaupun terbentuk. Sumber hukum HAN ini ada dua, yakni sumber hukum materiil
dan sumber hukum formil.
Sumber hukum
materiil ialah sumber hukum yang meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
isi atau materi dari aturan-aturan hukum. Sumber hukum materiil ini ada tiga,
yakni:
a.
Historis
/ Sejarah : Sumber hukum ini berasal dari undang-undang dan sistem hukum
tertulis yang telah berlaku dimasa lampau yang mempengaruhi hukum positif.
b.
Sosiologis
/ Antropologis : Sumber hukum ini meliputi faktor-faktor dalam masyaraakat yang
ikut menentukan isi hukum positif yang meliputi pandangan ekonomis, agamis,
psikologis, dan sebagianya.
c.
Filosofis
: Merupakan faktor-faktor yang mendorong seseorang mau tunduk pada pada hukum
atau suatu ukuran yang menetukan sesuatu itu adil.
Sumber hukum
formiil ialah sumber hukum yang berasal dari aturan-aturan hukum yang sudah
punya bentuk sebagai pernyataan berlakunya hukum, seperti peraturan
perundang-undangan yang tertulis, konvensi ketatanegaraan, yurisprudensi, dan
dokterin.
1.
Analisis tentang
kasus terorisme.
Kasus terorisme
ini termasuk sumber hukum materiil HAN yakni jika dilihat dari faktor
sosiologisnya. Maraknya kasus terorisme ini merupakan salah sumber timbulnya
Perpres No. 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No.
26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis NIK secara Nasional. Isi peraturan
ini lazim disebut dengan peraturan tentang pemberlakuan E-KTP (Elektronik KTP).
Tujuan pemerintah memberlakukan E-KTP ini diantaranya adalah supaya tidak
terjadi identitas ganda, mempermudah dalam sensus penduduk, dan mempermudah
untuk pencarian teroris.
Teroris dalam
bersembunyi biasanya dengan cara menyamar kemudian membuat identitas
dimana-mana sesuai dengan penyamarannya supaya tidak diketahui dan dicurigai
oleh masyarakat sekitar tempat persembunyian mereka. Inilah yang menjadi alasan
pemerintah untuk memberlakukan E-KTP, karena dalam E-KTP ini terdapat sidik
jari, pemeriksa retina dan sebagainya. Sehingga tidak dimungkinkan seseorang
untuk mempunyai identitas lebih dari satu. Hal tersebut akan mempermudah dalam
pencarian teroris dan akan memperkecil ruang gerak dari jaringan terorisme di
Indonesia.
Dari uraian
diatas, dapatlah dikatakan bahwa maraknya kasus terorisme di Indonesia ini
dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil HAN di Indonesia yakni dari segi
sosiologis. Kemudian Perpres No. 67 Tahun 2011 tersebut juga dapat dikatakan
sebagai sumber hukum formil HAN di Indonesia karena mengatur tentang
administrasi di Indonesia yang sudah berbentuk peraturan tertulis. Perpres No.
26 Tahun 2009 juga merupakan sumber hukum, yakni sumber hukum materiil dari
Perpres No. 67 Tahun 2011 yang dilihat dari faktor sejarah atau historis karena
menjadi landasan dari terbentuknya Perpres No. 67 Tahun 2011 tersebut. Jadi,
Sumber hukum materiil Perpres No. 67 Tahun 2011 tersebut selain mengenai
identitas ganda, sensus penduduk, dan terorisme, juga berasal dari Perpres No.
26 Tahun 2009 sebagai peraturan historisnya.
2. Analisis tentang pengurangan jam kerja PNS saat
bulan Ramadhan.
Peristiwa
tersebut terjadi di Jawa Timur dan berlaku untuk seluruh PNS di Jawa Timur.
Kebijakan ini berlaku berdasarkan Surat Gubernur Jawa Timur Nomor
851/4867/212.5/2012. Kebijakan ini dibuat karena mempertimbangkan faktor agama,
menghormati yang sedang menjalankan ibadah puasa supaya dapat menjalankannya
lebih khusuk. Selain itu, diberlakukannya kebijakan ini supaya tidak ada PNS
yang meliburkan diri, bermalas-malasan, atau terlambat datang kerja karena
alasan berpuasa. Dengan pemotongan jam kerja ini akan juga tetap mengefektifkan
kinerja mereka.
Mengingat bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara muslim yang besar di dunia, dimana
mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, maka dapatlah dikatakan bahwa
faktor tersebut dapat menjadi pertimbangan dan merupakan sumber hukum materiil
dibuatnya Surat Gubernur tesebut yakni dari faktor sosiologis yang dilihat dari
segi agama.
Surat Gubernur
Jawa Timur Nomor 851/4867/212.5/2012 juga merupakan sumber Hukum Administrasi
Negara di Indonesia yakni sebagai sumber hukum formil, karena Surat Gubernur
ini juga merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang tertulis
di Indonesia. Surat Gubernur ini sebagai sumber hukum formil bagi berlakunya
pengurangan jam kerja PNS di Jawa Timur.
Copyright ©2013 Wisnu Wardana Putra