- Back to Home »
- Sejarah Hukum Lingkungan
Posted by : Unknown
Rabu, 04 Juni 2014
HUKUM LINGKUNGAN
SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM LINGKUNGAN
Oleh :
Nama : Wisnu Wardana
Putra
NIM :
Kelas :
No. Absen :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
Sejarah dan Perkembangan Hukum Lingkungan
Perkembangan yang berarti yang
bersifat universal dan menjalar keseluruh pelosok dunia dalam bidang peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup terjadi setelah adanya Konferensi PBB
tentang Lingkungan Hidup Manusia si Stockholm, Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972.
Konferensi ini lahir mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi
masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup seluruh
makhluk di dunia.
A.
Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung
Dalam rangka persiapan menghadapi
Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia telah menyusun “Laporan
Nasional” tentang keadaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Untuk itu diselenggarakan
seminar lingkungan petama yang bertema “Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia
dan Pembangunan Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung pada Mei 1972. Dalam
seminar tersebut juga telah disampaikan beberapa pemikiran dan saran Prof. Dr.
Mochtar Kusuma-Atmaja, S.H., LL.M tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia.
B.
Konferensi Stockholm
Konferensi ini dihadiri 113 negara
dan beberapa puluh peninjau[1] serta mensahkan
hasil-hasilnya berupa:[2]
1.
Deklarasi tentang Lingkungan Hidup
Manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm
Declaration.
2.
Rencana Aksi Lingkngan Hidup Manusia (Action
Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang
Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.
3.
Rekomendasi tentang kelembagaan dan
keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang terdiri dari:
a)
Dewan Pengurus (Govering Council)
Program Lingkungan Hidup (UN Environment Programme = UNP);
b)
Sekretariat, yang dikepalai oleh
seorang Direktur eksekutif;
c)
Dana Lingkungan Hidup;
d)
Badan Koordinasi Lingkungan Hidup;
e)
Resolusi khusus bahwa menetapkan
tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia.
Konferensi ini menggugah semangat
bangsa-bangsa di dunia untuk memberikan perhatian lebih pada permasalahan
lingkungan hidup, termasuk Indonesia yang memulai penanganan secara langsung
terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
C.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ada beberapa alasan perlunya dibuat
suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara lengkap,
yakni:
1.
Telah banyak dikeluarkan peraturan
yang mengatur tentang lingkungan hidup oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun
Pemerintah Republik Indonesia yang masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak
lengkap, serta banyak yang tidak dapat dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi
dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang dikembangkan saat ini.[3]
2.
Adanya petunjuk dalam Repelita III,
Bab 7 tentang “Sumber Alam dan Lingkungan Hidup” yang mengisyaratkan untuk
segera membuat suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok
tentang masalah lingkungan.
3.
Indonesia sedang memasuki tahap
industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, dimana
perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku
“perusak lingkungan potensial” dan dikalangan konsumen selaku “penderita
kerusakan potensial”.[4]
Dari alasan tersebutlah kemudian
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menyusun RUU
Lingkungan Hidup, dimana diletakkan landasan hukum bagi penggalian kembali
lingkungan hidup untuk dikelola bagi kesejahteraan generasi kini dan nanti
sepanjang masa.[5]
Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1982, disahkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
D.
Konferensi Rio de Janeiro
Konferensi ini diadakan dalam rangka
pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan
Keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Konferensi ini dinamakan United
Nations Coference on Environment Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT
Bumi (Earth Summit) dan dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni
1992.
Dari Konferensi Rio dapat deperoleh
dua hasil utama: [6]
1.
Rio telah mengaitkan dengan sangat
erat dua pengertian kunci yaitu pembangunan seluruh bumi dan perlindungan
lingkungan.
2.
Bahwa jalan yang dilalui kini telah
diterangi oleh penerang baru, yaitu semangat Rio, yang meliputi tiga dimensi,
yaitu dimensi intelektual, ekonomi, dan politik.
Dimensi intelektual merupakan
pengakuan bahwa planet bumi adalah suatu perangkat luas tentang ketergantungan
satu dengan yang lain. Lalu dimensi ekonomi merupakan pengakuan bahwa
pembangunan berlebih atau pembangunan yang kurang menyebabkan keprihatinan yang
sama, yaitu kedua-duanya secara bertahap perlu diganti dengan pembangunan
seluruh bumi. Kemudian dimensi politik adalah adanya kesadaran yang jelas
tentang kewajiban politik, kewajiban untuk jangka panjang.[7]
KTT Rio juga mengasilkan apa yang
disebut “Agenda 21”, yang pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja dari suatu
rencana kerja yang disepakati oleh masyarakat internasional, yang bertujuan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada awal abad ke-21.[8]
E.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Konferensi Rio juga mengilhami
pemerintah RI untuk mengubah UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Lingkungan Hidup menjadi UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang disahkan pada tanggal 19 September 1997. Yang menjadi
pertimbangan perubahan ini adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian
rupa[9] sehingga perlu
disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.[10]
RUU PLH yang dihasilkan DPR telah
mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansial dibanding RUU yang
diajukan oleh pemerintah (Presiden). Perubahan tersebut tidak hanya dari jumlah
pasalnya saja, dari 45 menjadi 52, namun juga beberapa hal prinsip seperti
perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan, impor
B3, hak-hak prosedural seperti hak gugat organisasi lingkungan, dan pencantuman
dasar hukum bagi gugatan perwakilan (representative action).
F.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
UU No
23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan
kasus sengketa lingkungan hidup pada kala itu. Jika ditelusuri lebih jauh,
setidaknya tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997, yakni:[11]
1. Persoalan subtansial yang berkaitan
dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) AMDAL maupun perizinan;
lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya AMDAL sebagai
persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan
yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan
Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur
hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi
aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan
global.
2.
Masalah
struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) yang belum
dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan.
3. Problem kultural yaitu masih
rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
Kerena
adanya banyak kelemahan-kelemahan tersebutlah mengapa pada akhirnya UU No. 23
Tahun 1997 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan
sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara
komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU
ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) dan peran seluruh elemen untuk memandang kasus
lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Erwin, Muhamad. 2008. Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama.
Soemartono,
R.M. Gatot P. 1996. Hukum Lingkungan
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Daftar Website
Ilyas Asaad dalam artikel di website
(http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html).
[1]
Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan: Dalam
Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung,
2008, hlm. 4.
[2]
R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum
Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996 hlm. 31.
[3]
Ibid.,hlm. 72.
[4]
Ibid., hlm. 74.
[5]
Ibid., hlm. 76.
[6]
Ibid., hlm 39.
[7]
Muhamad Erwin, op.cit., hlm. 5.
[8]
Ibid., hlm. 6.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid., hlm. 16.
[11] Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang
Penaatan lingkungan dalam artikel di website (http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html).