Popular Post

Posted by : Unknown Rabu, 04 Juni 2014

Nama        : Wisnu Wardana Putra
NIM          : 
Matkul      : Hukum Acara Pidana
Kelas        : 






Analisis Kasus tentang Praperadilan


















Pengadilan Nyatakan SP3 Kasus BPN Tidak Sah[1]
Senin, 2 April 2012 | 13:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan korban pelecehan seksual dalam kasus di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam putusan atas permohonan praperadilan, PN Jaksel memutuskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Polda Metro Jaya tidak sah.
"Mengadili, mengabulkan pemohonan termohon untuk menyatakan SP3 adalah tidak sah menurut hukum," kata Hakim Aksir membacakan putusan praperadilan di PN Jaksel, Senin (2/4/2012).
Hakim juga memerintahkan penyidik Polda Metro Jaya untuk membuka kembali penyidikan atas kasus pelecehan seksual yang dilakukan pejabat BPN berinisial GN terhadap tiga staf perempuan. Ketiganya adalah AIF (22), sekretaris (GN), AN (25), dan NPS (29).
Sebelumnya, ketiga korban melalui kuasa hukum, Ahmad Jazuli, mengajukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan pihak kepolisian pada November 2011. Jazuli menyatakan SP3 tidak berdasar karena bukti-bukti yang diajukan sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut ke kejaksaan maupun pengadilan. Apalagi, SP3 itu sangat merugikan para korban.
Amin, kuasa hukum Polda Metro Jaya, menyatakan masih mempertimbangkan putusan yang diterima hari ini. "Kami belum bisa menjawab. Kami kan selaku kuasa. Kami pelajari dulu baru ambil keputusan," kata Jazuli.
Penulis : Imanuel More
Editor    : Hertanto Soebijoto

















Analisis

A.     Posisi Kasus
Dari berbagai artikel dan berita tentang kasus tersebut, dapat diperoleh keterangan-keterangan sebagai berikut:
1.      GN (44) adalah direktur di Direktorat Pengaturan dan Penetapan Tanah BPN.
2.      AIF (22) yang merupakan  sekretaris GN, AN (25), dan NPS (29) yang merupakan staff BPN. Mereka bertiga merupakan korban Pencabulan oleh GN.
3.      Selasa, 13 September 2011, GN dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu korban pencabulan.
4.      Pelaku dilaporkan dengan Pasal 294 Ayat (2) ke-1 KUHP tentang Pencabulan, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara. GN diduga sudah melakukan pencabulan sejak tahun 2010 kepada ketiga bawahannya tersebut.
5.      Pencabulan yang dilakukan GN berupa pelecehan seksual dimana GN meraba-raba tubuh korban dan menunjukkan alat vitalnya.
6.      Pelaporan tersebut disertai penyerahan barang bukti oleh korban berupa video rekaman pengakuan terlapor, yakni GN dihadapan karyawannya serta bukti surat elektronik permintaan maaf dari GN kepada bawahannya.
7.      Pada November 2011 Kepolisisan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan bukti-bukti yang diajukan pelapor tidak cukup untuk dijadikan bukti bahwa telah terjadi pelecehan seksual.
8.      Ahmad Jazuli selaku kuasa hukum ketiga korban, mengajukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan pihak kepolisian tersebut.
9.      Senin, 2 April 2012 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang menyatakan SP3 yang dikeluarkan Polda Metro Jaya tidak sah.

B.      Analisis Kasus
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghetian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Kemudian menurut pasal 80 KUHAP, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Dalam hal ini jika dilihat dari kasus diatas, Pengadilan Negeri yang berwenang menurut undang-undang memeriksa dan memutus terkait sah atau tidaknya penghentian penyidikan adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Dari kasus diatas, permintaan memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan diajukan oleh pihak ketiga yakni Ahmad Jazuli selaku kuasa hukum ketiga korban. Jadi, pemohon praperadilan adalah Ahmad Jazuli dan termohon praperadilan adalah Polda Metro Jaya.
Terkait dikeluarkannya SP3 oleh Kepolisian, menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP, ada tiga alasan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, yakni:
1.      Tidak terdapat cukup bukti; atau
2.      Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; atau
3.      Dihentikan demi hukum.
Dalam kasus pelecehan seksual diatas, alasan yang digunakan oleh kepolisian adalah tidak terdapat cukup bukti. Polisi tidak menggunakan alasan yang lain karena jika dicermati satu persatu alasan tersebut, mulai dari diberhentikan demi hukum, diberhentikan demi hukum ini ada tiga keadaan, yakni tersangka meninggal dunia, tindak pidana telah daluarsa, dan ne bis in idem. Alasan ini jelas tidak bisa digunakan sebab tersangka tidak meninggal dunia, tidak juga daluarsa karena kejadian tersebut masih sekitar setahunan, dan perkara ini juga belum pernah diputus secara incraht sama sekali.
Jika menggunakan alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, tetap saja tidak bisa digunakan karena pelecehan seksual yang dilakukan GN dengan meraba-raba dan menunjukkan organ vitalnya tersebut merupakan perbuatan cabul yang dimaksud dalam pasal 294 ayat (2) ke 1 . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum, secara umum cabul dapat diartikan sebagai perbuatan yang keji dan kotor, tidak senonoh, dan melanggar kesopanan dan kesusilaan. Sedangkan menurut R. Sughandi, pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.[2] Jika dilihat dari definisi tersebut, maka perbuatan yang dilakukan GN tersebut merupakan pencabulan, dan juga telah  memenuhi unsur-unsur tindak pidana pada pasal 294 ayat (2) ke 1 yakni tentang perbuatan cabul yang dilakukan pejabat kepada bawahannya. Jadi, perbuatan GN tersebut merupakan tindak pidana.
Dari ketiga alasan penghentian penyidikan tersebut, alasan yang dapat digunakan kepolisian adalah tidak terdapatnya cukup bukti. Tetapi jika kita teliti lagi, sebenarnya alasan ini juga kurang tepat untuk digunakan polisi dalam menghentikan penyidikan karena pelapor telah memberikan dua barang bukti, yakni video rekaman pengakuan terlapor dihadapan karyawannya dan bukti surat elektronik permintaan maaf dari GN kepada bawahannya, dimana kedua barang bukti ini sebenarnya dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa memang telah terjadi tindak pidana pencabulan walaupun kekuatannya kurang otentik. Selain itu juga telah ada keterangan tiga orang saksi yang membenarkan perbuatan cabul GN tersebut. Walaupun surat elektronik belum otentik seperti apa yang dimaksud surat dalam pasal 184 KUHAP, setidaknya surat elektronik tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tambahan untuk membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana pencabulan. Satu alat bukti yang sah ditambah dengan adanya laporan merupakan syarat untuk dilakukannya penyidikan. Jika ditambah satu alat bukti yang sah lagi maka perkara tersebut dapat dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk dilakukan penuntutan. Jadi, polisi harus lebih giat mencari alat bukti yang sah lagi supaya perkara tersebut dapat dilimpahkan ke PU untuk dilakukan penuntutan. Karena perbuatan ini jika dicocokkan dengan unsur subyektif dan obyektif pasal 294 ayat (2) ke 1, perbuatan GN tersebut telah memenuhi, sehingga polisi harus lebih giat untuk mencari alat bukti yang sah.

C.      Kesimpulan
Saya sepakat dengan putusan praperadilan Hakim PN Jaksel, bahwa SP3 yang dikeluarkan oleh polisi tidak sah, karena alasan tidak cukup bukti yang digunakan polisi kurang tepat dan unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 294 ayat (2) ke 1 juga telah terpenuhi, sehingga proses penyidikan harus tetap dilanjutkan oleh Polda Metro Jaya dan polisi harus lebih giat lagi dalam mencari alat bukti.





























Daftar Pustaka

Daftar Buku
Karjadi dan Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.
Sugandhi, R. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Daftar Internet




[2] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1998, hlm. 305.


Copyright ©2014 Wisnu Wardana Putra

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Wisnu's Blog - Law Profil - Powered by Blogger - Designed by Wisnu Wardana Putra -