- Back to Home »
- Tugas Makalah Hukum Dagang
Posted by : Unknown
Rabu, 16 April 2014
Nama :
WISNU WARDANA PUTRA
Judul
Makalah :
“HUKUM KEPAILITAN INDONESIA”
BAB
I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Aristoteles
berkata bahwa manusia itu adalah “zoon
politicon” atau makhluk sosial. Sebagai makhluk sosisal manusia pasti butuh
orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya pemenuhan kebutuhan
hidupnya tersebut dapat dilakukan dengan berinteraksi ataupun berhubungan
dengan orang lain. Hubungan yang dilakukan antar orang inilah yang kemudian
disebut sebagai suatu perikatan.
Perikatan adalah suatu
hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih atau sebagai para pihak yang melakukan ikatan hukum, yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[1]
Dengan melakukan perikatan dengan orang lain, sesorang pastilah akan terbantu
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi perikatan ini masih suatu hal yang
umum dan luas. Perikatan dilihat dalam arti luas karena dapat terjadi dengan
perjanjian dan tidak dengan perjanjian. Definisi perikatan yang dimaksud di
atas paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau
pihak saling menjanjikan sesuatu. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian
sangat erat sekali. Perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian, dengan kata
lain, perjanjian adalah sumber dari perikatan disamping sumber lain yang bisa
melahirkan perikatan. Sumber lain tersebut, yaitu undang-undang.[2]
Perjanjian
sendiri adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji
untuk melaksanakan perbuatan tertentu.[3]
Menurut Subekti, perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji
melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[4]
Dalam hukum perikatan terdapat berbagai jenis perjanjian, salah satu perjanjian
yang sering digunakan dalam masyarakat khususnya dalam bidang perdagangan adalah
perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian ini menurut pasal 1754 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.[5] Contoh
dari perjanjian ini misalnya adalah meminjam uang ke bank, peminjam harus
mengembalikan uang pokok berikut bunganya.
Dalam
hukum dagang, baik perseorangan, badan usaha dengan status non-badan hukum
maupun badan usaha yang berstatus badan hukum dapat mengalami kebangkrutan,
apabila tidak mampu mengembalikan apa yang sudah dipinjam atau tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban hukum kepada pihak lainnya. Kebangkrutan secara
terminologi hukum sering disebut sebagai “pailit”, sedangkan proses pemberesan
terhadap harta pailit disebut juga sebagai “kepailitan”.[6]
Kepailitan merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang mengalami
kesulitan keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit oleh
pengadilan, karena debitur tidak dapat menbayar utangnya, sehingga harta
kekayaan yang dimiliki debitur akan dibagikan kepada para kreditur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[7]
Harta kekayaan debitur yang akan dibagikan ini bisa berupa harta yang telah ada
maupun yang akan ada kemudian hari.
Kepailitan
ini ternyata masih terdengar asing dalam telinga kebanyakan masyarakat
Indonesia. Banyak yang belum terlalu mengerti dan paham apakah kepailitan itu,
siapa yang dapat dinyatakan dan menyatakan pailit, apa syarat-syarat sehingga
dinyatakan pailit, kemudian bagaimana sejarah hukum kepailitan di Indonesia,
dan sebagainya. Sehingga, perlulah sekiranya disusun makalah tentang “Hukum Kepailitan Indonesia” ini supaya
masyarakat dapat mengerti dan memahami lagi terkait kepailitan ini. Tidak hanya
terbatas pada masyarakat, tetapi juga untuk teman-teman akademisi ataupun
mahasiswa dapat dijadikan sebagai bahan bacaan agar lebih mengerti lagi.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari pemaparan diatas
dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah sejarah berlakunya hukum
Kepailtan di Indonesia?
2.
Bagaimanakah Kepailitan secara umum itu?
1.3
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui sejarah berlakunya hukum Kepailitan di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bagaimanakah Kepailtan secara umum itu.
BAB
II
Pembahasan
2.1
Sejarah
Hukum Kepailitan Indonesia
2.1.1
Undang-undang
Kepailitan Sebelum 1945
Dulu kepailitan untyk
pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek
van Koophandel (W.v.K), Buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden
(Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ini termuat dalam Pasal
749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K.
Sedangkan pengaturan
kepailitan yang bukan untuk kaum pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau
disingkat Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen
(Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal
915.
Dua peraturan ini
ternyata telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, seperti:[8]
· banyak
formalitas yang harus ditempuh;
· biaya
tinggi;
· terlalu
sedikit bagi Kreditur untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses
kepailitan; dan
· pelaksanaan
kepailitan memakan waktu yang lama.
Kerena
kesulitan-kesulitan tersebut, maka pada tahun 1905 diundangkanlah Faillissementsverordening (S. 1905-217).
Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening
op het Faillissements en de Surseance van Betaling voor de Europeanen in
Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk
Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening
ter invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217)
itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906, sehingga dicabutlah:
a. Seluruh
Buku III dari W.v.K.
b. Reglement op de Rechtsvordering,
Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai dengan Pasal 915.
Peraturan ini hanya
berlaku bagi golongan Eropa saja. Tetapi walaupun hanya berlaku untuk golongan
Eropa saja, ternyata golongan selain Eropa dapat juga menggunakan peraturan
ini. Golongan Timur Asing Cina dapat menggunakannya melalui lembaga penerapan
hukum yang diatur dalam S. 1924 No 556. Untuk Golongan Bumiputra dan golongan
Timur Asing bukan Cina, dapat menggunakannya melalui lembaga penundukan diri
secara sukarela sebagaimana diatur dalam S. 1917 No. 12.
2.1.2
Undang-Undang
Kepailitan Pasca Kemerdekaan Tahun 1945-1947
Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa: “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Berdasarkan Aturan
Peralihan tersebut, maka setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan
berlaku Faillissementsverordening S.
1905-217 jo. S. 1906-348 yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “Peraturan
Kepailitan”.[9]
Pada tahun 1947,
pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat
Kepailitan 1947 (Noodsregeling
Faillissementen 1947) yang bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi
penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini
sudah selesai, sehingga peraturan daerah ini sudah tidak berlaku lagi.
2.1.3
Undang-Undang
Kepailitan Tahun 1947-1998
Dalam praktek Peraturan
Kepailitan ini ternyata relatif sangat sedikit digunakan karena memang kurang
dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Sosialisanya ke masyarakat pun juga sangat
minim. Faktor-faktor lain penyebab tidak digunakannya peraturan ini adalah
karena pedagang dan pengusaha pribumi Indonesia masih belum banyak melakukan
transaksi bisnis yang besar karena kebanyakan pengusaha dan pedagang Indonesia
adalah tingkat menengah dan kecil. Selain itu, sebagian besar masyarakat
pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem hukum bisnis Barat[10]
seperti melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk PT,
menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat berharga, melakukan
pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan
pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab
atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.
2.1.4
Undang-Undang
Kepailitan Tahun 1998-2004
Pada bulan Juli 1997
terjadilah krisis moneter di Indonesia yang diperparah dengan adanya krisis
politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Preiden RI pada tanggal
21 Mei 1998.
Krisis moneter ini
diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS.[11]
Hal ini mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia terhadap para
Kreditur luar negeri membengkak luar biasa sekali, sehingga banyak Debitur yang
tidak mampu membayar utang-utang luar negerinya. Hal ini menyebabkan para
Kreditur mencari-cari sarana yang dapat digunakan untuk menagih tagihannya
dengan memuaskan karena peraturan kepailitan yang ada di Indonesia sangat tidak
bisa diandalkan. Upaya restrukturisasi utang juga sulit untuk diterapkan karena
dikhawatirkan akan berlangsung sangat lama. Banyak Debitur yang sulit dihubungi
oleh para Kreditur karena banyak yang berusaha mengelak untuk bertanggung jawab
menyelesaikan utang-utangnya. Padahal restrkturisasi utang hanya dapat
dilakukan apabila Debitur bersedia bertemu dan berunding bersama dengan
Krediturnya atau sebalikya.
Kesulitan-kesulitan
tersebutlah yang kemudian mengakibatkan para Kreditur terutama Kreditur luar
negeri menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia segera diganti atau
diubah. IMF juga berpendapat bahwa upaya menangani krisis moneter di Indonesia
tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari
para pengusaha Indonesia kepada Kreditur luar negerinya. Oleh karena itu, IMF
juga mendesak pemerintah RI agar segera mengganti atau merubah Peraturan
Kepailitan yang berlaku sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha
Indonesia kepada Krediturnya.
Dari berbagai desakan
itulah akhirnya pemerintah turun tangan dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Perpu tersebut
mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan. Tapi dilihat dari segi bahasanya,
ternyata ada yang sedikit janggal terkait judul Perpu ini. “Peraturan
Kepailitan” dalam Perpu ini disebut sebagai “Undang-undang Kepailitan”. Setelah
diterbitkan Perpu tersebut pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah, maka
lima bulan kemudian tepatnya tanggal 9 September 1998 Perpu tersebut telah
diajukan kepada DPR dan ditetapkan menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998.
Pada waktu Perpu
tersebut dibahas di DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-undang,ternyata terjadi
perbedaan pendapat diantara fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mengenai
substansi Perpu tersebut.[12]
DPR menghendaki adanya perubahan terkait materi dalam Perpu tersebut, tetapi
pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perpu tersebut segera diterima saja dan
disahkan menjadi undang-undang karena memang sudah terkena deadline dari IMF sebagai syarat bagi Indonesia untuk dapat
memperoleh pengucuran dana dari IMF yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk
mengatasi kesulitan ekonomi akibat krisis moneter.Sebagai jalan keluar terhadap
perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah tersebut, maka dibuatlah suatu
kompromi, dimana disepakati bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4 tahun 1998 diundangkan, yaitu
sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru
kepada DPR RI.
2.1.5
Undang-Undang
Kepailitan Tahun 2004-Sekarang
Setelah melalui proses
penggodokan yang begitu lama, akhirnya pada tahun 2004 disahkanlah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Secara umum, perubahan terhadap undang-undang kepailitan
sejak awal hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, perubahan tidak
dilakukan secara menyeluruh, tetapi perubahan dan penambahan hanya terjadi pada
pasal-pasal tertentu yang secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:[13]
1. Penyempurnaan
mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan kepailitan (termasuk
penentuan jangka waktu putusan pernyatan pailit).
2. Penyempurnaan
mengenai pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur
sebelum adanya putusan pernyataan pailit.
3. Peneguhan
fungsi kurator dalam kepailitan, selain institusi yang selama ini telah
dikenal, seperti Balai Harta Peninggalan.
4. Penegasan
mengenai pengaturan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan
pailit.
2.2
Kepailitan Secara Umum
Kata “kepailitan”
secara terminologi berasal dari kata dasar “pailit” sebagai bahasa Belanda “failliet”, yang artinya bangkrut. Selain
itu dalam bahasa Belanda dikenal juga kata “failliet
verklaring”, yang artinya pengumuman bangkrut (berdasarkan putusan
pengadilan).[14]
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengartikan kepailitan adalah
sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Debitur Pailit adalah debitur yang
sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Kurator sendiri adalah Balai
Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus
dan membereskan harta Debitur Pailit. Sedangkan Hakim Pengawas adalah hakim
yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan
kewajiban pembayaran utang.
Pengertian kepailitan
sendiri menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Kartono
kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan sidebitur
(orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang yang
berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu si debitur dinyatakan pailit
mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur miliki
pada saat itu.[15]
Menurut Man S.
Sastrawidjaja kepailitan diartikan sebagai beslah umum yang dilakukan oleh yang
berwenang yang diikuti dengan pembagian sama rata.[16]
Menurut J. Djohansjah
kepailitan merupakan suatu proses yang meliputi dua (2) aspek, yaitu:[17]
1.
Debitur yang mempunyai kesulitan
keuangan dalam membayar utang yang dimiliki, sehingga dinyatakan pailit oleh pengadilan
(dalam hal ini pengadilan niaga), karena debitur tidak dapat membayar utangnya.
2.
Harta debitur dapat dibagikan kepada
para kreditur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
kepailitan.
Tujuan
Kepailitan
Dari berbagai pengertian
diatas, dapat digambarkan tujuan-tujuan dari hukum kepailitan yakni:[18]
1. Melindungi
para Kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya
asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan Debitur baik yang bergerak maupun
yang tidak bergerak, baik yang telah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan
Debitur”, yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat
memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitur.
2. Menjamin
agar pembagian harta kekayaan Debitur diantara para Kreditur sesuai dengan asas
pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan Debitur kepada para Kreditur konkuren berdasarkan
perimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditur tersebut).
3. Mencegah
agar Debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
kepentingan para Kreditur. Dengan dinyatakannya seorang Debitur pailit, maka
Debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan
memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum
dari harta kekayaan Debitur menjadi harta pailit.
4. Memberikan
perlindungan kepada Debitur yang beriktikad baik dari para Krediturnya, dengan
cara memperoleh pembebasan utang.
5. Menghukum
Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami
keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi
dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6. Memberikan
kesempatan kepada Debitur dan para Krediturnya untuk berunding dan membuat
kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitur. Hal ini diatur dalam
BAB II Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu terkait Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Syarat-syarat
Permohonan Pailit
Untuk dapat dinyatakan
pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
PKPU, yakni sebagai berikut:
1. Terdapat
minimal 2 (dua) orang kreditur.
2. Debitur
tidak membayar lunas sedikitnya satu (1) utang.
3. Debitur
memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Selain tiga hal
tersebut diatas, ada juga syarat-syarat siapa saja yang dapat mengajukan dan
diajukan pailit. Permohonan dapat diajukan oleh debitur, kreditur, kejaksaan,
Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.[19]
Hal ini selaras dengan Pasal 2 ayat (1) sampai (5) UU No. 37 tahun 2004, yakni
sebagai berikut:
1. Debitur,
dalam arti ia dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri, yang
meliputi: (a) orang perseorangan; (b) istri atau suami dalam harta persatuan;
dan (c) badan usaha atau badan hukum. Terkait badan usaha dan badan hukum, jika
debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia. Kemudian jika debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Dan jika
debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan.
2. Kreditur
atau para kreditur, dalam arti kreditur konkuren, kreditur separatis maupun
kreditur preferen dapat mengajukan kepada debitur yang dianggap elah memenuhi
persyaratan pailit berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa
kehilangan hak jaminan dan hak didahulukan (khusus kreditur separatis dan
kreditur preferen).[20] Kreditur
separatis adalah kreditur yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan, seperti pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, dan jaminan kebendaan lainnya.[21]
Kreditur preferen atau kreditur dengan hak istimewa adalah kreditur yang
piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditur ini mempunyai hak
untuk mendapat pelunasan lebih dulu dari hasil penjualan lelang harta pailit
(pasal 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUHPer).[22]
Kreditur konkuren yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus
atau golongan istimewa[23]
dimana pelunasan piutang-piutang mereka adalah sisa dari hasil
penjualan/pelelangan harta pailit yang telah diambil oleh kreditur separatis
dan preferen yang pembagiannya sesuai imbangan besar kecilnya piutang para
kreditur preferen tersebut.
3. Kejaksaan,
dalam arti kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit, apabila debitur telah
memenuhi persyaratan kepailitan, tidak ada pihak lain yang mengajukan
permohonan pailit atau untuk kepentingan umum[24],
seperti debitur memiliki utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat luas, dan sebagainya.
4. Bank
Indonesia., dalam arti Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit
debitur sebagai lembaga perbankan berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan
kondisi perbankan secara keseluruhan tanpa menghilangkan kewenangan Bank
Indonesia dalam melakukan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum,
dan likuidasi bank sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.[25]
5. Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam arti Bapepam dapat mengajukan permohonan
pailit terhadap setiap instansi yang berada di bawah pengawasannya dan instansi
yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek.[26]
6. Menteri
Keuangan, dalam arti Menteri Keuangan dapt mengajukan permohonan pailt terhadap
debitur sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) UU no. 37 tahun 2004.
Perlu diketahui juga,
bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur ataupun kreditur,
tidak dapat diajukan sendiri oleh debitur atau kreditur yang bersangkutan.
Permohonan itu harus dilakukan oleh seorang advokat[27] yang
merupakan wakil dari pemohon. Permohonan juga harus diajukan ke pengadilan
niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan pengadilan niaga
yang meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur[28].
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 UU No. 3 tahun 2004 sebagai berikut:
1. Apabila
debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan niaga yang
berwenang, ialah pengadilan niaga tempat kedudukan hukum terakhir dari debitur.
2. Apabila
debitur merupakan badan usaha atau badan hukum, pengadilan yang berwenang,
ialah pengadilan niaga tempat kedudukan hukum badan usaha atau badan hukum
berdiri.
3. Apabila
debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah RI, tetapi menjalankan profesi
atau usahanya dalam wilayah RI, pengadilan niaga yang berwenang, ialah
pengadilan niaga tempat kedudukan hukum dimana kantor debitur menjalankan
profesi atau usahanya.
Terkait mekanismme atau
tata cara mengajukan permohonan pailit dapat dilihat dalam Pasal 6 sampai
dengan pasal 20 UU No. 37 tahun 2004. Pasal tersebut telah mengatur
ketentuan-ketentuan maupun tata cara permohonan pailit mulai dari pengajuan ke
pengadilan sampai dengan dijatuhkannya putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan
pailit.
Akibat
Pernyataan Pailit
Secara umum akibat
pernyataan pailit adalah sebagai berikut:[29]
1. Kekayaan
debitur pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak
yang dinyatakan pailit. Harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada
waktu putusan pailit diucapkan serta segala apa yang diperoleh debitur pailit
selama Kepailitan. Barang-barang yang tidak termasuk harta pailit seperti,
perlengkapan untuk tidur, persediaan makanan selama 30 hari, dan sebagainya
yang intinya barang tersebut merupakan barang yang sangat pribadi milik
debitur.
2. Kepailitan
semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur
pailit. Misalnya seseorang dapat tetap melangsungkan pernikahan meskipun ia
telah dinyatakan pailit.
3. Debitur
pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang
termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan.
4. Harta
pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditur dan
debitur, dan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya
Kepailitan.
5. Perjanjian
antara debitur dan pihak ketiga, perjanjian dapat dilanjutkan atau dibatalkan[30]
dilihat untung ruginya dulu bagi masing-masing pihak.
6. Perbuatan
hukum debitur yang diduga merugikan para kreditur, perbuatan hukum dapat
dibatalkan dengan syarat sesuai dengan Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (actio
paulina).[31]
BAB
III
Penutup
3.1
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
dapat ditarik kesimpulan dalam beberapa poin berikut:
1. Ada
beberapa periode terkait masa berlaku hukum kepailitan di Indonesia, yakni
periode sebelum tahun 1945, setelah tahun 1945 sampai dengan tahun 1947, tahun
1947 sampai dengan 1998, tahun 1998 sampai dengan 2004, dan tahun 2004 sampai
dengan sekarang.
2. Kepailitan
merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang mengalami kesulitan
keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang
bertujuan melindungi hak-hak kreditur.
3. Dalam
mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan, harus memenuhi syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan maupun tata cara yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Debitur
yang telah dijatuhi putusan pailit, harus menerima akibat hukumnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Daftar
Pustaka
Daftar Buku
Hariri, Wawan Muhwan. 2011. Hukum Perikatan: Dilengkapai Hukum Perikatan dalam Islam. Bandung:
Pustaka Setia.
Kartono. 1974. Kepailitan
dan Pengunduran Pembayaran (Failissement
en surseance van betaling). Jakarta: Pradnya Paramita.
Purwosutjipto, H. M. N. 1992. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8 : Perwasitan, Kepailitan, dan
Penundaan Pembayaran. Jakarta: Djambatan.
Sjahdeni, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto
Undang-undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Subekti. 1991. Hukum
Perjanjian (Cet. XIII). Jakarta: Intermasa.
Subekti
dan Tjitrosudibio.2004. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Widijowati, Dijan. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: CV ANDI.
Daftar
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[1] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan: Dilengkapai Hukum Perikatan
dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 15.
[2] Ibid., hal. 20.
[3] Ibid., hal. 119.
[4] Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XIII, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal. 1.
[5] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hal. 451.
[6] Dijan Widijowati, Hukum Dagang, (Yogyakarta: CV ANDI,
2012), hal. 215.
[7] Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang,
dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang
Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT
Alumni, 2001), hal. 23, dalam buku Dijan Widijowati, ibid.
[8]Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami
Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal.
25.
[9] Ibid., hal. 28.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 29.
[12] Ibid., hal. 35.
[13] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 218.
[14] Dijan Widijowati, loc. cit.
[15] Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran (Failissement en surseance van betaling), (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1974), hal. 5.
[16] Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, 2006), hal. 81 dalam buku Dijan
Widijowati, op. cit., hal. 216.
[17] Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang,
dan Benny Ponto, op. cit., hal. 23,
dalam buku Dijan Widijowati, ibid.
[18] Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal.38.
[19] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 227.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 222.
[22] H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8 :
Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Djambatan,
1992), hal. 43.
[23] Ibid.
[24] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 228.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, pasal 7 ayat (1).
[28] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 229-230.
[29] Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal. 256.
[30] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 227.