Popular Post

Posted by : Unknown Rabu, 16 April 2014

Nama                         : WISNU WARDANA PUTRA
Judul Makalah          :



“HUKUM KEPAILITAN INDONESIA”







BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang
Aristoteles berkata bahwa manusia itu adalah “zoon politicon” atau makhluk sosial. Sebagai makhluk sosisal manusia pasti butuh orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut dapat dilakukan dengan berinteraksi ataupun berhubungan dengan orang lain. Hubungan yang dilakukan antar orang inilah yang kemudian disebut sebagai suatu perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih atau sebagai para pihak yang melakukan ikatan hukum, yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[1] Dengan melakukan perikatan dengan orang lain, sesorang pastilah akan terbantu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi perikatan ini masih suatu hal yang umum dan luas. Perikatan dilihat dalam arti luas karena dapat terjadi dengan perjanjian dan tidak dengan perjanjian. Definisi perikatan yang dimaksud di atas paling banyak dilahirkan dari suatu peristiwa dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian sangat erat sekali. Perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian, dengan kata lain, perjanjian adalah sumber dari perikatan disamping sumber lain yang bisa melahirkan perikatan. Sumber lain tersebut, yaitu undang-undang.[2]
Perjanjian sendiri adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perbuatan tertentu.[3] Menurut Subekti, perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[4] Dalam hukum perikatan terdapat berbagai jenis perjanjian, salah satu perjanjian yang sering digunakan dalam masyarakat khususnya dalam bidang perdagangan adalah perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian ini menurut pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.[5] Contoh dari perjanjian ini misalnya adalah meminjam uang ke bank, peminjam harus mengembalikan uang pokok berikut bunganya.
Dalam hukum dagang, baik perseorangan, badan usaha dengan status non-badan hukum maupun badan usaha yang berstatus badan hukum dapat mengalami kebangkrutan, apabila tidak mampu mengembalikan apa yang sudah dipinjam atau tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban hukum kepada pihak lainnya. Kebangkrutan secara terminologi hukum sering disebut sebagai “pailit”, sedangkan proses pemberesan terhadap harta pailit disebut juga sebagai “kepailitan”.[6] Kepailitan merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang mengalami kesulitan keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, karena debitur tidak dapat menbayar utangnya, sehingga harta kekayaan yang dimiliki debitur akan dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[7] Harta kekayaan debitur yang akan dibagikan ini bisa berupa harta yang telah ada maupun yang akan ada kemudian hari.
Kepailitan ini ternyata masih terdengar asing dalam telinga kebanyakan masyarakat Indonesia. Banyak yang belum terlalu mengerti dan paham apakah kepailitan itu, siapa yang dapat dinyatakan dan menyatakan pailit, apa syarat-syarat sehingga dinyatakan pailit, kemudian bagaimana sejarah hukum kepailitan di Indonesia, dan sebagainya. Sehingga, perlulah sekiranya disusun makalah tentang “Hukum Kepailitan Indonesia” ini supaya masyarakat dapat mengerti dan memahami lagi terkait kepailitan ini. Tidak hanya terbatas pada masyarakat, tetapi juga untuk teman-teman akademisi ataupun mahasiswa dapat dijadikan sebagai bahan bacaan agar lebih mengerti lagi.

1.2    Rumusan Masalah
Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah sejarah berlakunya hukum Kepailtan di Indonesia?
2.      Bagaimanakah Kepailitan secara umum itu?

1.3    Tujuan
1.    Untuk Mengetahui sejarah berlakunya hukum Kepailitan di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui bagaimanakah Kepailtan secara umum itu.



BAB II
Pembahasan

2.1    Sejarah Hukum Kepailitan Indonesia
2.1.1        Undang-undang Kepailitan Sebelum 1945
Dulu kepailitan untyk pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), Buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K.
Sedangkan pengaturan kepailitan yang bukan untuk kaum pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915.
Dua peraturan ini ternyata telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, seperti:[8]
·      banyak formalitas yang harus ditempuh;
·      biaya tinggi;
·      terlalu sedikit bagi Kreditur untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan
·      pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.
Kerena kesulitan-kesulitan tersebut, maka pada tahun 1905 diundangkanlah Faillissementsverordening (S. 1905-217). Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissements en de Surseance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906, sehingga dicabutlah:
a.    Seluruh Buku III dari W.v.K.
b.    Reglement op de Rechtsvordering, Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai dengan Pasal 915.
Peraturan ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja. Tetapi walaupun hanya berlaku untuk golongan Eropa saja, ternyata golongan selain Eropa dapat juga menggunakan peraturan ini. Golongan Timur Asing Cina dapat menggunakannya melalui lembaga penerapan hukum yang diatur dalam S. 1924 No 556. Untuk Golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing bukan Cina, dapat menggunakannya melalui lembaga penundukan diri secara sukarela sebagaimana diatur dalam S. 1917 No. 12.

2.1.2        Undang-Undang Kepailitan Pasca Kemerdekaan Tahun 1945-1947
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan berlaku Faillissementsverordening S. 1905-217 jo. S. 1906-348 yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “Peraturan Kepailitan”.[9]
Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen 1947) yang bertujuan untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah selesai, sehingga peraturan daerah ini sudah tidak berlaku lagi.

2.1.3        Undang-Undang Kepailitan Tahun 1947-1998
Dalam praktek Peraturan Kepailitan ini ternyata relatif sangat sedikit digunakan karena memang kurang dikenal dan dipahami oleh masyarakat. Sosialisanya ke masyarakat pun juga sangat minim. Faktor-faktor lain penyebab tidak digunakannya peraturan ini adalah karena pedagang dan pengusaha pribumi Indonesia masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar karena kebanyakan pengusaha dan pedagang Indonesia adalah tingkat menengah dan kecil. Selain itu, sebagian besar masyarakat pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem hukum bisnis Barat[10] seperti melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk PT, menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat berharga, melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.

2.1.4        Undang-Undang Kepailitan Tahun 1998-2004
Pada bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang diperparah dengan adanya krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Preiden RI pada tanggal 21 Mei 1998.
Krisis moneter ini diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS.[11] Hal ini mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia terhadap para Kreditur luar negeri membengkak luar biasa sekali, sehingga banyak Debitur yang tidak mampu membayar utang-utang luar negerinya. Hal ini menyebabkan para Kreditur mencari-cari sarana yang dapat digunakan untuk menagih tagihannya dengan memuaskan karena peraturan kepailitan yang ada di Indonesia sangat tidak bisa diandalkan. Upaya restrukturisasi utang juga sulit untuk diterapkan karena dikhawatirkan akan berlangsung sangat lama. Banyak Debitur yang sulit dihubungi oleh para Kreditur karena banyak yang berusaha mengelak untuk bertanggung jawab menyelesaikan utang-utangnya. Padahal restrkturisasi utang hanya dapat dilakukan apabila Debitur bersedia bertemu dan berunding bersama dengan Krediturnya atau sebalikya.
Kesulitan-kesulitan tersebutlah yang kemudian mengakibatkan para Kreditur terutama Kreditur luar negeri menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia segera diganti atau diubah. IMF juga berpendapat bahwa upaya menangani krisis moneter di Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada Kreditur luar negerinya. Oleh karena itu, IMF juga mendesak pemerintah RI agar segera mengganti atau merubah Peraturan Kepailitan yang berlaku sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada Krediturnya.
Dari berbagai desakan itulah akhirnya pemerintah turun tangan dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan. Tapi dilihat dari segi bahasanya, ternyata ada yang sedikit janggal terkait judul Perpu ini. “Peraturan Kepailitan” dalam Perpu ini disebut sebagai “Undang-undang Kepailitan”. Setelah diterbitkan Perpu tersebut pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah, maka lima bulan kemudian tepatnya tanggal 9 September 1998 Perpu tersebut telah diajukan kepada DPR dan ditetapkan menjadi Undang-undang No.4 Tahun 1998.
Pada waktu Perpu tersebut dibahas di DPR untuk ditetapkan sebagai Undang-undang,ternyata terjadi perbedaan pendapat diantara fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu tersebut.[12] DPR menghendaki adanya perubahan terkait materi dalam Perpu tersebut, tetapi pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perpu tersebut segera diterima saja dan disahkan menjadi undang-undang karena memang sudah terkena deadline dari IMF sebagai syarat bagi Indonesia untuk dapat memperoleh pengucuran dana dari IMF yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk mengatasi kesulitan ekonomi akibat krisis moneter.Sebagai jalan keluar terhadap perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah tersebut, maka dibuatlah suatu kompromi, dimana disepakati bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4 tahun 1998 diundangkan, yaitu sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru kepada DPR RI.

2.1.5        Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004-Sekarang
Setelah melalui proses penggodokan yang begitu lama, akhirnya pada tahun 2004 disahkanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Secara umum, perubahan terhadap undang-undang kepailitan sejak awal hingga berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, perubahan tidak dilakukan secara menyeluruh, tetapi perubahan dan penambahan hanya terjadi pada pasal-pasal tertentu yang secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:[13]
1.      Penyempurnaan mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan kepailitan (termasuk penentuan jangka waktu putusan pernyatan pailit).
2.      Penyempurnaan mengenai pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan pernyataan pailit.
3.      Peneguhan fungsi kurator dalam kepailitan, selain institusi yang selama ini telah dikenal, seperti Balai Harta Peninggalan.
4.      Penegasan mengenai pengaturan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan pailit.

2.2 Kepailitan Secara Umum
Kata “kepailitan” secara terminologi berasal dari kata dasar “pailit” sebagai bahasa Belanda “failliet”, yang artinya bangkrut. Selain itu dalam bahasa Belanda dikenal juga kata “failliet verklaring”, yang artinya pengumuman bangkrut (berdasarkan putusan pengadilan).[14] Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengartikan kepailitan adalah sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan. Kurator sendiri adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitur Pailit. Sedangkan Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Pengertian kepailitan sendiri menurut para ahli adalah sebagai berikut:
Menurut Kartono kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan sidebitur (orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang yang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu si debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur miliki pada saat itu.[15]
Menurut Man S. Sastrawidjaja kepailitan diartikan sebagai beslah umum yang dilakukan oleh yang berwenang yang diikuti dengan pembagian sama rata.[16]
Menurut J. Djohansjah kepailitan merupakan suatu proses yang meliputi dua (2) aspek, yaitu:[17]
1.        Debitur yang mempunyai kesulitan keuangan dalam membayar utang yang dimiliki, sehingga dinyatakan pailit oleh pengadilan (dalam hal ini pengadilan niaga), karena debitur tidak dapat membayar utangnya.
2.        Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepailitan.
Tujuan Kepailitan
Dari berbagai pengertian diatas, dapat digambarkan tujuan-tujuan dari hukum kepailitan yakni:[18]
1.      Melindungi para Kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan Debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,  baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan Debitur”, yaitu dengan memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitur.
2.      Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitur diantara para Kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan Debitur kepada para Kreditur konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditur tersebut).
3.      Mencegah agar Debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditur. Dengan dinyatakannya seorang Debitur pailit, maka Debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan Debitur menjadi harta pailit.
4.      Memberikan perlindungan kepada Debitur yang beriktikad baik dari para Krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
5.      Menghukum Pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6.      Memberikan kesempatan kepada Debitur dan para Krediturnya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang Debitur. Hal ini diatur dalam BAB II Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu terkait Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Syarat-syarat Permohonan Pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, yakni sebagai berikut:
1.    Terdapat minimal 2 (dua) orang kreditur.
2.    Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu (1) utang.
3.    Debitur memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Selain tiga hal tersebut diatas, ada juga syarat-syarat siapa saja yang dapat mengajukan dan diajukan pailit. Permohonan dapat diajukan oleh debitur, kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.[19] Hal ini selaras dengan Pasal 2 ayat (1) sampai (5) UU No. 37 tahun 2004, yakni sebagai berikut:
1.  Debitur, dalam arti ia dapat mengajukan permohonan pailit atas dirinya sendiri, yang meliputi: (a) orang perseorangan; (b) istri atau suami dalam harta persatuan; dan (c) badan usaha atau badan hukum. Terkait badan usaha dan badan hukum, jika debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Kemudian jika debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Dan jika debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
2.  Kreditur atau para kreditur, dalam arti kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen dapat mengajukan kepada debitur yang dianggap elah memenuhi persyaratan pailit berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa kehilangan hak jaminan dan hak didahulukan (khusus kreditur separatis dan kreditur preferen).[20] Kreditur separatis adalah kreditur yang dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, seperti pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, dan jaminan kebendaan lainnya.[21] Kreditur preferen atau kreditur dengan hak istimewa adalah kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan lebih dulu dari hasil penjualan lelang harta pailit (pasal 1133, 1134, 1139 dan 1149 KUHPer).[22] Kreditur konkuren yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa[23] dimana pelunasan piutang-piutang mereka adalah sisa dari hasil penjualan/pelelangan harta pailit yang telah diambil oleh kreditur separatis dan preferen yang pembagiannya sesuai imbangan besar kecilnya piutang para kreditur preferen tersebut.
3.  Kejaksaan, dalam arti kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit, apabila debitur telah memenuhi persyaratan kepailitan, tidak ada pihak lain yang mengajukan permohonan pailit atau untuk kepentingan umum[24], seperti debitur memiliki utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas, dan sebagainya.
4.  Bank Indonesia., dalam arti Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit debitur sebagai lembaga perbankan berdasarkan penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan tanpa menghilangkan kewenangan Bank Indonesia dalam melakukan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.[25]
5.  Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam arti Bapepam dapat mengajukan permohonan pailit terhadap setiap instansi yang berada di bawah pengawasannya dan instansi yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek.[26]
6.  Menteri Keuangan, dalam arti Menteri Keuangan dapt mengajukan permohonan pailt terhadap debitur sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) UU no. 37 tahun 2004.
Perlu diketahui juga, bahwa permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur ataupun kreditur, tidak dapat diajukan sendiri oleh debitur atau kreditur yang bersangkutan. Permohonan itu harus dilakukan oleh seorang advokat[27] yang merupakan wakil dari pemohon. Permohonan juga harus diajukan ke pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan pengadilan niaga yang meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur[28]. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 UU No. 3 tahun 2004 sebagai berikut:
1.    Apabila debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, pengadilan niaga yang berwenang, ialah pengadilan niaga tempat kedudukan hukum terakhir dari debitur.
2.    Apabila debitur merupakan badan usaha atau badan hukum, pengadilan yang berwenang, ialah pengadilan niaga tempat kedudukan hukum badan usaha atau badan hukum berdiri.
3.    Apabila debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah RI, tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah RI, pengadilan niaga yang berwenang, ialah pengadilan niaga tempat kedudukan hukum dimana kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya.
Terkait mekanismme atau tata cara mengajukan permohonan pailit dapat dilihat dalam Pasal 6 sampai dengan pasal 20 UU No. 37 tahun 2004. Pasal tersebut telah mengatur ketentuan-ketentuan maupun tata cara permohonan pailit mulai dari pengajuan ke pengadilan sampai dengan dijatuhkannya putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit.
Akibat Pernyataan Pailit
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut:[29]
1.      Kekayaan debitur pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada waktu putusan pailit diucapkan serta segala apa yang diperoleh debitur pailit selama Kepailitan. Barang-barang yang tidak termasuk harta pailit seperti, perlengkapan untuk tidur, persediaan makanan selama 30 hari, dan sebagainya yang intinya barang tersebut merupakan barang yang sangat pribadi milik debitur.
2.      Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit. Misalnya seseorang dapat tetap melangsungkan pernikahan meskipun ia telah dinyatakan pailit.
3.      Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan.
4.      Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur, dan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya Kepailitan.
5.      Perjanjian antara debitur dan pihak ketiga, perjanjian dapat dilanjutkan atau dibatalkan[30] dilihat untung ruginya dulu bagi masing-masing pihak.
6.      Perbuatan hukum debitur yang diduga merugikan para kreditur, perbuatan hukum dapat dibatalkan dengan syarat sesuai dengan Pasal 41 dan Pasal 42 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU (actio paulina).[31]







BAB III
Penutup

3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan dalam beberapa poin berikut:
1.      Ada beberapa periode terkait masa berlaku hukum kepailitan di Indonesia, yakni periode sebelum tahun 1945, setelah tahun 1945 sampai dengan tahun 1947, tahun 1947 sampai dengan 1998, tahun 1998 sampai dengan 2004, dan tahun 2004 sampai dengan sekarang.
2.      Kepailitan merupakan suatu proses untuk mengatasi pihak debitur yang mengalami kesulitan keuangan dalam membayar utangnya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan yang bertujuan melindungi hak-hak kreditur.
3.      Dalam mengajukan permohonan kepailitan ke pengadilan, harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan maupun tata cara yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      Debitur yang telah dijatuhi putusan pailit, harus menerima akibat hukumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

















Daftar Pustaka

Daftar Buku
Hariri, Wawan Muhwan. 2011. Hukum Perikatan: Dilengkapai Hukum Perikatan dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Kartono. 1974. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran (Failissement en surseance van betaling). Jakarta: Pradnya Paramita.
Purwosutjipto, H. M. N. 1992. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8 : Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran. Jakarta: Djambatan.
Sjahdeni, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Subekti. 1991. Hukum Perjanjian (Cet. XIII). Jakarta: Intermasa.
Subekti dan Tjitrosudibio.2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Widijowati, Dijan. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: CV ANDI.

Daftar Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.



[1] Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan: Dilengkapai Hukum Perikatan dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 15.
[2] Ibid., hal. 20.
[3] Ibid., hal. 119.
[4] Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XIII, (Jakarta: Intermasa, 1991), hal. 1.
[5] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hal. 451.
[6] Dijan Widijowati, Hukum Dagang, (Yogyakarta: CV ANDI, 2012), hal. 215.
[7] Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, 2001), hal. 23, dalam buku Dijan Widijowati, ibid.
[8]Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 25.
[9] Ibid., hal. 28.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 29.
[12] Ibid., hal. 35.
[13] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 218.
[14] Dijan Widijowati, loc. cit.
[15] Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran (Failissement en surseance van betaling), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1974), hal. 5.
[16] Man S. Satrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, 2006), hal. 81 dalam buku Dijan Widijowati, op. cit., hal. 216.
[17] Rudy A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, op. cit., hal. 23, dalam buku Dijan Widijowati, ibid.
[18] Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal.38.
[19] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 227.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 222.
[22] H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8 : Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 43.
[23] Ibid.
[24] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 228.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, pasal 7 ayat (1).
[28] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 229-230.
[29] Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hal. 256.
[30] Dijan Widijowati, op. cit., hal. 227.
[31] Ibid.




Copyright ©2013 Wisnu Wardana Putra

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Wisnu's Blog - Law Profil - Powered by Blogger - Designed by Wisnu Wardana Putra -