Popular Post

Archive for Juni 2014

Analisis Kasus Praperadilan

By : Unknown
Nama        : Wisnu Wardana Putra
NIM          : 
Matkul      : Hukum Acara Pidana
Kelas        : 






Analisis Kasus tentang Praperadilan


















Pengadilan Nyatakan SP3 Kasus BPN Tidak Sah[1]
Senin, 2 April 2012 | 13:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan korban pelecehan seksual dalam kasus di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam putusan atas permohonan praperadilan, PN Jaksel memutuskan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Polda Metro Jaya tidak sah.
"Mengadili, mengabulkan pemohonan termohon untuk menyatakan SP3 adalah tidak sah menurut hukum," kata Hakim Aksir membacakan putusan praperadilan di PN Jaksel, Senin (2/4/2012).
Hakim juga memerintahkan penyidik Polda Metro Jaya untuk membuka kembali penyidikan atas kasus pelecehan seksual yang dilakukan pejabat BPN berinisial GN terhadap tiga staf perempuan. Ketiganya adalah AIF (22), sekretaris (GN), AN (25), dan NPS (29).
Sebelumnya, ketiga korban melalui kuasa hukum, Ahmad Jazuli, mengajukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan pihak kepolisian pada November 2011. Jazuli menyatakan SP3 tidak berdasar karena bukti-bukti yang diajukan sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut ke kejaksaan maupun pengadilan. Apalagi, SP3 itu sangat merugikan para korban.
Amin, kuasa hukum Polda Metro Jaya, menyatakan masih mempertimbangkan putusan yang diterima hari ini. "Kami belum bisa menjawab. Kami kan selaku kuasa. Kami pelajari dulu baru ambil keputusan," kata Jazuli.
Penulis : Imanuel More
Editor    : Hertanto Soebijoto

















Analisis

A.     Posisi Kasus
Dari berbagai artikel dan berita tentang kasus tersebut, dapat diperoleh keterangan-keterangan sebagai berikut:
1.      GN (44) adalah direktur di Direktorat Pengaturan dan Penetapan Tanah BPN.
2.      AIF (22) yang merupakan  sekretaris GN, AN (25), dan NPS (29) yang merupakan staff BPN. Mereka bertiga merupakan korban Pencabulan oleh GN.
3.      Selasa, 13 September 2011, GN dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh salah satu korban pencabulan.
4.      Pelaku dilaporkan dengan Pasal 294 Ayat (2) ke-1 KUHP tentang Pencabulan, dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara. GN diduga sudah melakukan pencabulan sejak tahun 2010 kepada ketiga bawahannya tersebut.
5.      Pencabulan yang dilakukan GN berupa pelecehan seksual dimana GN meraba-raba tubuh korban dan menunjukkan alat vitalnya.
6.      Pelaporan tersebut disertai penyerahan barang bukti oleh korban berupa video rekaman pengakuan terlapor, yakni GN dihadapan karyawannya serta bukti surat elektronik permintaan maaf dari GN kepada bawahannya.
7.      Pada November 2011 Kepolisisan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan bukti-bukti yang diajukan pelapor tidak cukup untuk dijadikan bukti bahwa telah terjadi pelecehan seksual.
8.      Ahmad Jazuli selaku kuasa hukum ketiga korban, mengajukan permohonan praperadilan atas SP3 yang dikeluarkan pihak kepolisian tersebut.
9.      Senin, 2 April 2012 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membacakan putusan praperadilan yang menyatakan SP3 yang dikeluarkan Polda Metro Jaya tidak sah.

B.      Analisis Kasus
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghetian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Kemudian menurut pasal 80 KUHAP, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Dalam hal ini jika dilihat dari kasus diatas, Pengadilan Negeri yang berwenang menurut undang-undang memeriksa dan memutus terkait sah atau tidaknya penghentian penyidikan adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemudian permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Dari kasus diatas, permintaan memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan diajukan oleh pihak ketiga yakni Ahmad Jazuli selaku kuasa hukum ketiga korban. Jadi, pemohon praperadilan adalah Ahmad Jazuli dan termohon praperadilan adalah Polda Metro Jaya.
Terkait dikeluarkannya SP3 oleh Kepolisian, menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP, ada tiga alasan dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, yakni:
1.      Tidak terdapat cukup bukti; atau
2.      Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; atau
3.      Dihentikan demi hukum.
Dalam kasus pelecehan seksual diatas, alasan yang digunakan oleh kepolisian adalah tidak terdapat cukup bukti. Polisi tidak menggunakan alasan yang lain karena jika dicermati satu persatu alasan tersebut, mulai dari diberhentikan demi hukum, diberhentikan demi hukum ini ada tiga keadaan, yakni tersangka meninggal dunia, tindak pidana telah daluarsa, dan ne bis in idem. Alasan ini jelas tidak bisa digunakan sebab tersangka tidak meninggal dunia, tidak juga daluarsa karena kejadian tersebut masih sekitar setahunan, dan perkara ini juga belum pernah diputus secara incraht sama sekali.
Jika menggunakan alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, tetap saja tidak bisa digunakan karena pelecehan seksual yang dilakukan GN dengan meraba-raba dan menunjukkan organ vitalnya tersebut merupakan perbuatan cabul yang dimaksud dalam pasal 294 ayat (2) ke 1 . Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum, secara umum cabul dapat diartikan sebagai perbuatan yang keji dan kotor, tidak senonoh, dan melanggar kesopanan dan kesusilaan. Sedangkan menurut R. Sughandi, pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.[2] Jika dilihat dari definisi tersebut, maka perbuatan yang dilakukan GN tersebut merupakan pencabulan, dan juga telah  memenuhi unsur-unsur tindak pidana pada pasal 294 ayat (2) ke 1 yakni tentang perbuatan cabul yang dilakukan pejabat kepada bawahannya. Jadi, perbuatan GN tersebut merupakan tindak pidana.
Dari ketiga alasan penghentian penyidikan tersebut, alasan yang dapat digunakan kepolisian adalah tidak terdapatnya cukup bukti. Tetapi jika kita teliti lagi, sebenarnya alasan ini juga kurang tepat untuk digunakan polisi dalam menghentikan penyidikan karena pelapor telah memberikan dua barang bukti, yakni video rekaman pengakuan terlapor dihadapan karyawannya dan bukti surat elektronik permintaan maaf dari GN kepada bawahannya, dimana kedua barang bukti ini sebenarnya dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa memang telah terjadi tindak pidana pencabulan walaupun kekuatannya kurang otentik. Selain itu juga telah ada keterangan tiga orang saksi yang membenarkan perbuatan cabul GN tersebut. Walaupun surat elektronik belum otentik seperti apa yang dimaksud surat dalam pasal 184 KUHAP, setidaknya surat elektronik tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tambahan untuk membuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana pencabulan. Satu alat bukti yang sah ditambah dengan adanya laporan merupakan syarat untuk dilakukannya penyidikan. Jika ditambah satu alat bukti yang sah lagi maka perkara tersebut dapat dilimpahkan ke Penuntut Umum untuk dilakukan penuntutan. Jadi, polisi harus lebih giat mencari alat bukti yang sah lagi supaya perkara tersebut dapat dilimpahkan ke PU untuk dilakukan penuntutan. Karena perbuatan ini jika dicocokkan dengan unsur subyektif dan obyektif pasal 294 ayat (2) ke 1, perbuatan GN tersebut telah memenuhi, sehingga polisi harus lebih giat untuk mencari alat bukti yang sah.

C.      Kesimpulan
Saya sepakat dengan putusan praperadilan Hakim PN Jaksel, bahwa SP3 yang dikeluarkan oleh polisi tidak sah, karena alasan tidak cukup bukti yang digunakan polisi kurang tepat dan unsur-unsur tindak pidana dalam pasal 294 ayat (2) ke 1 juga telah terpenuhi, sehingga proses penyidikan harus tetap dilanjutkan oleh Polda Metro Jaya dan polisi harus lebih giat lagi dalam mencari alat bukti.





























Daftar Pustaka

Daftar Buku
Karjadi dan Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.
Sugandhi, R. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Daftar Internet




[2] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1998, hlm. 305.


Copyright ©2014 Wisnu Wardana Putra

Analisis Tatbestand Hukum Pajak

By : Unknown
Nama              : Wisnu Wardana Putra
NIM                : 
Matkul            : Hukum Pajak
Kelas               : A


Restoran sebagai Salah Satu Objek Pajak (Tatbestand)

Pemerintah merupakan suatu organ yang sangat penting dalam suatu negara. Suatu negara bisa bergerak apabila negara itu memiliki pemerintah. Pemerintah mempunyai tugas atau fungsi dalam suatu negara sebagai berikut:
1.    Tugas atau fungsi Essential, yang merupakan tugas dan fungsi pemerintah yang murni dan utama seperti menjaga keamanan, ketertiban, dan pertahanan rakyatnya. Dengan singkat, tugas ini disebut pula sebagai penyelengaraan pemerintah sipil yang bersifat administratif dan protektif.[1]
2.    Tugas atau fungsi Service, dimana ini merupakan tugas atau fungsi pelayanan melalui penyediaan sarana dan prasarana dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti membangun fasilitas-fasilitas umum.
3.    Tugas atau fungsi Bussiness, yaitu tugas atau fungsi yang mengarah dan bertujuan mencari keuntungan/profit bagi negara.[2]
Untuk menjalankan tugas-tugas atau fungsi-fungsi pemerintah yang begitu banyak tersebut, dibutuhkan pula biaya yang banyak yang menjadi beban atau kewajiban negara. Nah, dari manakah negara mendapatkan uang yang banyak untuk membiayai semua itu? Maka kita harus mengetahui sumber penerimaan negara.
Sumber pemasukan negara salah satunya adalah berasal dari pajak. Kebanyakan negara-negara di dunia ini pajak merupakan penerimaan yang terbesar sebagai sumber pembiayaan, bahkan yang utama.[3] Pungutan pajak mengurangi penghasilan/kekayaan individu, tetapi sebaliknya merupakan pengahasilan masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan oleh pemerintah.[4]

A.     Pengertian Pajak
Ada banyak pengertian yang diberikan oleh para sarjana mengenai apa itu yang disebut pajak. Berikut beberapa diantaranya:
1.    Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH : Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplusnya” digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.[5]
2.      Dr. Soeparman Soemahamidjadja : Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.[6]
3.      Prof. Dr. Smeets, dalam buku De Economische Betekenis der Belastingen : Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.[7]
Dari berbagai definisi yang dipaparkan oleh para sarjana di atas, secara umum dapat diuraikan beberapa unsur atau ciri dari pajak, yakni:
a.      Adanya peralihan kekuasaan, yakni dari sektor swasta ke sektor publik.
b.      Pajak dipungut harus berdasarkan undang-undang ataupun perauran pelaksanaannya yang berlaku.
c.       Dalam pembayaran pajak tidak ada imbalan secara langsung yang dapat ditunjuk.
d.      Dapat dipaksakan, yakni wajib, bila tidak dilaksanakan dapat dikenakan sanksi.
e.      Mempunyai kegunaan atau fungsi, yakni selain sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas negara, juga berfungsi untuk mengatur.


B.      Jenis-jenis Pajak
Dalam berbagai literatur pajak bisa dibedakan menjadi Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara periodik (berulang-ulang), tidak hanya satu kali pungut, menggunakan penetapan sebagai dasar dan kohir, dan beban pajak tidak bisa dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak Penghasilan dipungut secara periodik setiap tahun atau setiap masa pajak, dimana pemungutannya menggunakan penetapan lewat SPT (Surat Pemberitahuan) dan mereka yang menjadi wajib pajak adalah mereka yang benar-benar memikul beban pajaknya karena beban membayar pajak ini tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Adapun pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan secara insidental (tidak berulang-ulang), yaitu hanya pada saat Tatbestand, tidak mempunyai kohir, dan wajib pajak dapat mengalihkan beban pajaknya kepada pihak lain. Sebagai contoh adalah Pajak Restoran.  Disini yang menjadi wajib pajak adalah Pengusaha Kena Pajak dalam hal ini adalah pemilik restoran, tetapi yang benar-benar memikul beban pajaknya adalah konsumen yang membeli atau mengkonsumsi produknya.

C.      Tatbestand
Tatbestand adalah keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang dapat dikenakan pajak.[8] Tatbestand juga dapat dikatakan sebagai objek pajak atau sasaran pengenaan pajak.
1.    Perbuatan
Perbutan yang terjadi di dalam masyarakat secara tidak langsung juga dapat menjadi objek pajak apabila telah memenuhi syarat. Sebagai contoh dalam perbuatan pinjam-meminjam uang yang dibuat secara tertulis, dimana dalam pembuatan perjanjian itu dibuat otentik dengan menggunakan Bea Materai. Dengan digunakan Bea Materai ini, maka secara tidak langsung para pihak dalam perjanjian tersebut  telah membayar pajak kepada negara.
2.    Peristiwa
Peristiwa tertentu yang tidak direncanakan yang terjadi di masyarakat juga dapat menjadi objek pajak. Sebagai contoh, peristiwa kematian. Dengan adanya peristiwa kematian maka akan terbuka adanya warisan, yakni peralihan harta dari orang yang telah meningal dunia (pewaris) kepada yang berhak menerimanya (ahli waris).[9] Misal, seorang wajib pajak meninggal dunia dan meninggalkan warisan berupa kendaraan bermotor maka kepada ahli warisnya akan dikenakan pajak berupa Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
3.    Keadaan
Pajak dapat dikenakan terhadap suatu keadaan tertentu yang menurut undang-undang harus dikenakan pajak, hal ini berkaitan dengan kekayaan dan asset yang dimiliki. Pendek kata, apabila sesorang dalam keadaan tertentu memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang dapat dikenakan pajak, maka keadaan tersebut menjadi objek pajak.[10] Sebagai contoh adalah Pajak Restoran, sesorang yang dalam keadaan mempunyai suatu restoran yang telah memperoleh omzet dalam jumlah tertentu dan syarat-syarat lain yang telah ditentukan oleh peraturan  perundang-undangan, maka dapat dikenakan pajak.

D.     Pajak Restoran
Restoran menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah “fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/kateria”. Kemudian Pajak Restoran dalam undang-undang ini adalah “pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran”. Undang-undang ini hanya mengatur ketentuan-ketentuan umum tentang pajak restoran, untuk ketentuan yang lebih khusus dan teknisnya diatur dalam Perda tiap-tiap daerah yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.
1.      Ketentuan Umum Pajak Restoran
Hal ini diatur dalam Pasal 37 – 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut:
a.      Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran, meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. Untuk kriteria restoran seperti apa yang menjadi objek pajak, akan ditentukan oleh masing-masing daerah melalui Perda.
b.      Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari restoran.
c.       Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan atau memiliki restoran. Jadi, walaupun wajib pajaknya adalah pengusaha atau pemilik dari restoran tersebut, tetapi sebenarnnya yang benar-benar memikul beban pajaknya adalah konsumen yang membeli atau mengkonsumsi produk restoran tersebut. Dalam hal ini, Wajib Pajak Restoran menggeser/mengalihkan beban pajaknya kepada pihak lain yaitu konsumen, dengan cara memasukkan beban pajak dalam harga produknya.
d.      Dasar Pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh Restoran. Hal ini berkaitan dengan omzet penjualan tiap restoran, dimana tiap-tiap daerah mempunyai batasan-batasan dan kriteria-kriteria tersendiri terkait restoran yang mempunyai omzet berapa saja yang bisa dikenai pajak.
e.      Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Tarif Pajak Restoran ini harus ditetapkan dalam Perda tiap-tiap daerah, dengan syarat maksimal 10% dari omzet penjualan tiap restoran.
2.    Ketentuan Khusus Pajak Restoran
Untuk membahas ketentuan-ketentuan khusus pajak restoran di tiap-tiap daerah, penulis akan menggunakan contoh Kota Bandung dan Kabupaten Tulungagung yang mengatur ketentuan Pajak Restoran dalam Perda mereka masing-masing. Untuk kabupaten Tulungagung pengaturan tentang Pajak Restoran dimuat dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, sedangkan pada kota Bandung dimuat dalam Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran.
a.      Dilihat dari kategori apa saja yang termasuk restoran, kedua daerah ini mempunyai kategori yang berbeda. Dalam Perda Kabupaten Tulungagung, jasa boga atau catering termasuk dalam kategori restoran, sedangkan dalam Perda Kota Bandung tidak termasuk.
b.      Dilihat dari omzetnya, dalam Perda Kabupaten Tulungagung restoran yang dapat menjadi objek pajak adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya lebih dari Rp. 150.000,- per hari. Sedangkan dalam Perda Kota Bandung ditentukan bahwa Restoran yang dapat menjadi objek pajak adalah yang peredaran usahanya melebihi Rp. 2.000.000,- per bulan.
c.       Subjek Pajak dan Wajib Pajak kedua daerah ini sama seperti apa yang telah diatur dalam ketentuan umum.
d.      Tarif Pajak kedua daerah ini menggunakan ketentuan maksimal yang telah diatur dalam ketentuan umum, yakni sebesar 10%.
Dari kedua contoh daerah tersebut Restoran merupakan salah satu keadaan dan perbuatan yang dapat menimbulkan pajak atau biasa disebut sebagai objek pajak (tatbestand). Orang atau badan yang memiliki restoran dapat dikenakan pajak restoran apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sebagai objek pajak. Sedangkan perbuatan orang atau badan yang membeli produk restoran tersebut pun secara tidak langsung juga dibebani pajak restoran.



















DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
Effendi, Lutfi. 2010. Pokok-Pokok Hukum Pajak. Malang : Bayumedia.
Pudyatmoko, Sri. 2009. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta : ANDI.

Daftar Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Restoran.
Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.



[1] Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Pajak, (Malang : Bayumedia, 2010), hal. 2.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hal. 5.
[4] Ibid.
[5] Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta : ANDI, 2009), hal. 2.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal. 9.
[9] Ibid., hal 25.
[10] Ibid.

Copyright ©2014 Wisnu Wardana Putra

Sejarah Hukum Lingkungan

By : Unknown
HUKUM LINGKUNGAN
SEJARAH TERBENTUKNYA HUKUM LINGKUNGAN



Oleh :
Nama              : Wisnu Wardana Putra
NIM                 : 
Kelas               : 
No. Absen       : 


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG



Sejarah dan Perkembangan Hukum Lingkungan

Perkembangan yang berarti yang bersifat universal dan menjalar keseluruh pelosok dunia dalam bidang peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terjadi setelah adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia si Stockholm, Swedia pada tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi ini lahir mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup seluruh makhluk di dunia.
A.       Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional di Bandung
Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia telah menyusun “Laporan Nasional” tentang keadaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Untuk itu diselenggarakan seminar lingkungan petama yang bertema “Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung pada Mei 1972. Dalam seminar tersebut juga telah disampaikan beberapa pemikiran dan saran Prof. Dr. Mochtar Kusuma-Atmaja, S.H., LL.M tentang bagaimana pengaturan hukum mengenai  masalah lingkungan hidup manusia.
B.        Konferensi Stockholm
Konferensi ini dihadiri 113 negara dan beberapa puluh peninjau[1] serta mensahkan hasil-hasilnya berupa:[2]
1.      Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas: Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.
2.      Rencana Aksi Lingkngan Hidup Manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.
3.      Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut, yang terdiri dari:
a)   Dewan Pengurus (Govering Council) Program Lingkungan Hidup (UN Environment Programme = UNP);
b)   Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur eksekutif;
c)    Dana Lingkungan Hidup;
d)   Badan Koordinasi Lingkungan Hidup;
e)   Resolusi khusus bahwa menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia.
Konferensi ini menggugah semangat bangsa-bangsa di dunia untuk memberikan perhatian lebih pada permasalahan lingkungan hidup, termasuk Indonesia yang memulai penanganan secara langsung terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
C.        Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
Ada beberapa alasan perlunya dibuat suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup secara lengkap, yakni:
1.      Telah banyak dikeluarkan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup oleh Pemerintah Kolonial Belanda maupun Pemerintah Republik Indonesia yang masih bersifat sektoral, tersebar dan tidak lengkap, serta banyak yang tidak dapat dijalankan karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip lingkungan hidup yang dikembangkan saat ini.[3]
2.      Adanya petunjuk dalam Repelita III, Bab 7 tentang “Sumber Alam dan Lingkungan Hidup” yang mengisyaratkan untuk segera membuat suatu undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan.
3.    Indonesia sedang memasuki tahap industrialisasi bersamaan dengan peningkatan pengembangan pertanian, dimana perkembangan kesadaran lingkungan sudah meningkat di kalangan produsen selaku “perusak lingkungan potensial” dan dikalangan konsumen selaku “penderita kerusakan potensial”.[4]
Dari alasan tersebutlah kemudian Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) menyusun RUU Lingkungan Hidup, dimana diletakkan landasan hukum bagi penggalian kembali lingkungan hidup untuk dikelola bagi kesejahteraan generasi kini dan nanti sepanjang masa.[5] Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1982, disahkanlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
D.       Konferensi Rio de Janeiro
Konferensi ini diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No. 45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan Keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992. Konferensi ini dinamakan United Nations Coference on Environment Development (UNCED) atau dikenal sebagai KTT Bumi (Earth Summit) dan dilaksanakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992.
Dari Konferensi Rio dapat deperoleh dua hasil utama: [6]
1.      Rio telah mengaitkan dengan sangat erat dua pengertian kunci yaitu pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan.
2.      Bahwa jalan yang dilalui kini telah diterangi oleh penerang baru, yaitu semangat Rio, yang meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi intelektual, ekonomi, dan politik.
Dimensi intelektual merupakan pengakuan bahwa planet bumi adalah suatu perangkat luas tentang ketergantungan satu dengan yang lain. Lalu dimensi ekonomi merupakan pengakuan bahwa pembangunan berlebih atau pembangunan yang kurang menyebabkan keprihatinan yang sama, yaitu kedua-duanya secara bertahap perlu diganti dengan pembangunan seluruh bumi. Kemudian dimensi politik adalah adanya kesadaran yang jelas tentang kewajiban politik, kewajiban untuk jangka panjang.[7]
KTT Rio juga mengasilkan apa yang disebut “Agenda 21”, yang pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja dari suatu rencana kerja yang disepakati oleh masyarakat internasional, yang bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan pada awal abad ke-21.[8]
E.        Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Konferensi Rio juga mengilhami pemerintah RI untuk mengubah UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup menjadi UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan pada tanggal 19 September 1997. Yang menjadi pertimbangan perubahan ini adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa[9] sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.[10]
RUU PLH yang dihasilkan DPR telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansial dibanding RUU yang diajukan oleh pemerintah (Presiden). Perubahan tersebut tidak hanya dari jumlah pasalnya saja, dari 45 menjadi 52, namun juga beberapa hal prinsip seperti perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan, impor B3, hak-hak prosedural seperti hak gugat organisasi lingkungan, dan pencantuman dasar hukum bagi gugatan perwakilan (representative action).
F.         Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No 23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus sengketa lingkungan hidup pada kala itu. Jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997, yakni:[11]
1.      Persoalan subtansial yang berkaitan dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) AMDAL maupun perizinan; lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya AMDAL sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global.
2.           Masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan.
3.      Problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan.
Kerena adanya banyak kelemahan-kelemahan tersebutlah mengapa pada akhirnya UU No. 23 Tahun 1997 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan peran seluruh elemen untuk memandang kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.[12]














DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku
Erwin, Muhamad. 2008. Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama.
Soemartono, R.M. Gatot P. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Daftar Website





[1] Muhamad Erwin, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 4.
[2] R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996  hlm.  31.
[3] Ibid.,hlm. 72.
[4] Ibid., hlm. 74.
[5] Ibid., hlm. 76.
[6] Ibid., hlm 39.
[7] Muhamad Erwin, op.cit., hlm. 5.
[8] Ibid., hlm. 6.
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 16.
[11] Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan dalam artikel di website (http://green.kompasiana.com/iklim/2010/08/14/uu-pplh-no-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutan-lh-225476.html).
[12] Ibid.


Copyright ©2014 Wisnu Wardana Putra

- Copyright © Wisnu's Blog - Law Profil - Powered by Blogger - Designed by Wisnu Wardana Putra -